INDONESIAKOMA.COM, JAKARTA –
14 Oktober 2025, Diskusi publik mengenai arah reformasi Kepolisian Republik Indonesia (Polri) kembali mengemuka dalam sebuah dialog interaktif bertajuk “REFORMASI POLRI: PENGAYOM RAKYAT ATAU PELINDUNG OLIGARKI”. Dialog tersebut menyoroti tantangan besar yang dihadapi institusi Polri dalam memenuhi ekspektasi masyarakat sebagai pelindung dan pengayom sejati.
Acara yang disiarkan secara langsung itu menjadi wadah bagi berbagai pandangan kritis terhadap kinerja Polri. Salah satu isu utama yang dibahas adalah persepsi publik bahwa reformasi kultural di tubuh Polri masih berjalan di tempat dan belum menyentuh akar persoalan.
”Masyarakat masih menyoroti dan mengkritik tajam reformasi kultural di tubuh Polri. Pertanyaan mendasar yang muncul adalah apakah reformasi ini sudah berada di jalur yang benar untuk menjadikan polisi sebagai abdi negara yang sepenuhnya dipercaya rakyat,” ujar seorang pembicara dalam diskusi tersebut.
Sorotan Terhadap Kekerasan dan Pentingnya Pengawasan
Dialog juga memberikan perhatian khusus pada maraknya kasus kekerasan yang melibatkan oknum aparat. Para narasumber sepakat bahwa tindakan kekerasan tidak dapat ditoleransi dan setiap pelanggaran harus diproses melalui mekanisme hukum yang transparan dan adil. Penekanan diberikan pada pentingnya penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) dalam setiap tindakan kepolisian.
Di tengah tantangan tersebut, peran pengawasan eksternal disebut sebagai salah satu kunci utama. Di era digital saat ini, publik memiliki kekuatan besar untuk menjadi pengawas kinerja aparat.
”Media sosial kini telah menjadi ‘mata’ publik yang efektif. Setiap tindakan polisi dapat dengan mudah direkam dan disebarluaskan, menuntut akuntabilitas yang lebih tinggi dari sebelumnya,” papar salah satu analis dalam acara itu
Membangun Kembali Kepercayaan Publik.
Pada akhirnya, para peserta dialog menyimpulkan bahwa muara dari reformasi Polri adalah pemulihan dan penguatan kepercayaan publik. Falsafah Jawa “sopo salah seleh,” yang berarti siapa yang bersalah harus menanggung konsekuensinya, dianggap relevan untuk diterapkan secara konsisten demi menegakkan keadilan dan meraih kembali simpati masyarakat.
Keberadaan Polri, menurut para narasumber, harus dirasakan sebagai bagian integral dari masyarakat yang dilayani, bukan sebagai institusi yang berjarak atau bahkan ditakuti. Diskusi ini menjadi pengingat bahwa perjalanan reformasi Polri masih panjang dan memerlukan komitmen serius dari semua pihak, baik internal maupun eksternal, untuk mewujudkan institusi kepolisian yang profesional dan dicintai rakyatnya.
(Redaksi)