INDONESIAKOMA.COM, JAKARTA —
Asrama Haji Pondok Gede, Rabu siang, menjadi ruang pertemuan berbagai kalangan yang tengah mengikuti seminar Blueprint & Roadmap Langit 2026–2029 garapan Majelis Gerakan Akhir Zaman (GAZA). Suasananya meluas dari diskusi teologis hingga pembacaan ulang dinamika global, menandai pendekatan khas majelis yang memadukan spiritualitas dan analisis strategis.
Ketua GAZA, Diki, membuka seminar dengan penjelasan ihwal metode penyusunan roadmap empat tahun ke depan. Ribuan mubasyirat atau mimpi benar dihimpun dari berbagai daerah, lalu dianalisis bersisian dengan data sosial-politik dan pembacaan geopolitik. Bagi GAZA, mubasyirat menjadi semacam intelijen spiritual yang memperkaya cara melihat perubahan dunia.
Paparan dimulai dari tahun 2026 yang disebut sebagai fase “kesadaran dan konsolidasi”. GAZA memandang tekanan ekonomi global dapat mendorong kemandirian komunitas, menguatkan pendidikan keluarga, dan menghidupkan kembali gerakan pemurnian nilai. Di ranah regional, Indonesia diproyeksikan tetap aktif dalam diplomasi kawasan, meski menghadapi tekanan agar berpihak pada blok tertentu.
Memasuki 2027, seminar menggambarkan fase “ujian dan gejolak”. Ujian integritas bagi elite nasional diprediksi mengemuka di tengah stabilitas politik yang tertekan. Nilai tukar yang melemah, potensi bencana alam, serta kemungkinan krisis kesehatan dipandang sebagai titik uji efektivitas pemerintahan dan solidaritas publik. Di luar negeri, ketegangan di Timur Tengah dan Asia Selatan diperkirakan meningkat tajam.
Tahun 2028 dibaca sebagai fase “peralihan dan konflik besar”. GAZA menyebut arena politik nasional berpotensi menghangat, didorong isu identitas dan kemandirian bangsa. Krisis energi, ekonomi, dan pangan dianggap dapat memicu gejolak sosial, namun juga membuka ruang bagi inisiatif lokal dan diplomasi yang lebih independen. Pada skala global, berbagai titik panas seperti Kashmir dan Laut Cina Selatan diperkirakan dapat memicu eskalasi lebih luas.
Sementara 2029 diproyeksikan sebagai fase “penentuan dan kebangkitan awal”. Dalam pemaparannya, GAZA menilai Indonesia berpeluang menyaksikan lahirnya kepemimpinan yang lebih berorientasi kemandirian. Konsolidasi nasional diperkirakan menguat seiring dorongan untuk membangun ketahanan pangan, energi, dan pertahanan. Di tingkat kawasan, Indonesia, Malaysia, Pakistan, dan Bangladesh disebut berpotensi membentuk poros kerjasama baru umat Islam.
Di tengah gambaran dunia yang dipaparkan memasuki fase pascakonflik besar, seminar melihat kemungkinan lahirnya tatanan global yang lebih multipolar. Fase ini, menurut GAZA, membuka ruang kebangkitan spiritual dan politik umat Islam, sekaligus menjadi masa persiapan menghadapi gejolak yang mereka sebut sebagai fase akhir zaman.
Mengakhiri pemaparan, Diki menegaskan pentingnya fondasi spiritual, kemandirian, dan persatuan dalam menghadapi perubahan cepat dunia. “Hikmah harus diambil, bukan ditakuti,” ujarnya, menutup rangkaian presentasi yang menarik perhatian peserta seminar.
(Fika)



















