INDONESIAKOMA.COM, JAKARTA
Perempuan dan kelompok rentan lainnya mengalami berbagai bentuk kekerasan berbasis gender selama proses pemilihan umum tahun 2024 di Indonesia. Hal ini berdasarkan hasil kajian pemantauan kekerasan berbasis gender di wilayah Aceh, Makasar, Ambon, dan DKI Jakarta yang menunjukkan adanya berbagai bentuk kekerasan berbasis gender, termasuk ancaman fisik, psikologis, dan online yang dialami oleh perempuan dan kelompok rentan, baik sebagai pemilih, kandidat, penyelenggara pemilu, jurnalis pemilu, pendamping, dan sebagainya.
Senin, 24 Juni 2024, Kalyanamitra bersama dengan organisasi masyarakat sipil lainnya yang terdiri dari Koalisi Perempuan Indonesia, Solidaritas Perempuan Anging Mammiri, Asosiasi APIK, PEKKA, LAPPAN Ambon, Flower Aceh, Perludem, dan SAFEnet melakukan pendokumentasian dan pemantauan kekerasan berbasis gender di masa pemilu 2004 dalam rentang waktu Februari-Mei 2024. Perempuan dan kelompok rentan lainnya menghadapi berbagai bentuk kekerasan berbasis gender dalam partisipasinya di dunia politik dan terus meningkat eskalasinya mulai dari pelecehan, intimidasi, kekerasan fisik dan seksual di publik maupun di media massa dan sosial.
Ika Agustina, Direktur Eksekutif Kalyanamitra menyatakan kekerasan berbasis gender dalam Pemilu 2024 di Indonesia tidak hanya merugikan korban secara individu, tetapi juga merusak integritas demokrasi. “Kekerasan berbasis gender di masa pemilu menghambat partisipasi perempuan dalam politik, bahkan hasil kajian kami menunjukan membuat perempuan mundur untuk berkontestasi dalam pemilu. Ini menjadi kontraproduktif dengan upaya gerakan perempuan untuk mendorong peningkatan partisipasi perempuan yang sampai kini masih belum menyentuh 30%. Pemerintah perlu membuat mekanisme pencegahan dan penanganan kekerasan berbasis gender di masa pemilu untuk menciptakan iklim pemilu yang adil, inklusif, dan bebas kekerasan.”
Hasil pemantauan menemukan bahwa kekerasan yang paling banyak dialami oleh perempuan dan kelompok rentan dalam bentuk ancaman fisik, pelecehan verbal, kekerasan seksual, ujaran kebencian, ungkapan seksis dan misoginis, utamanya di masa sebelum pemilu yang menciptakan rasa takut serta mempengaruhi kinerja mereka sebagai kandidat yang berkontestasi dalam pemilu. Media sosial pun menjadi alat brutal yang dipakai untuk menyerang kandidat perempuan dalam bentuk serangan personal, fitnah, dan pelecehan seksual yang bertujuan untuk mendiskreditkan dan membungkam hak politik perempuan.
SAFEnet menyatakan bahwa kekerasan berbasis gender dalam pemilu juga merenggut hak konstitusi seseorang dalam berpolitik di media sosial. Penyebaran konten intim tanpa izin terjadi sebelum Pemilu 2024 kepada Bacaleg di daerah Nusa Tenggara Timur. Hal tersebut menyebabkan bacaleg batal maju menjadi caleg hingga mengundurkan diri dari platform. Upaya intimidatif juga terjadi pada komentar yang merendahkan di hampir semua platform
sosial media. Narasi merendahkan terjadi ketika perempuan mendukung salah satu pasangan calon (paslon) tertentu. Sebelum pemilu juga terjadi diskriminasi dengan narasi tertentu. Kelompok LGBTQI menjadi sasaran narasi yang kuat untuk mendokrak elektabilitas salah satu paslon.
Dalam rangka mencegah kekerasan berbasis gender di masa pemilu tidak berulang serta memastikan adanya perlindungan hak politik bagi perempuan dan kelompok rentan lainnya, kami mendesak pemerintah dan pihak terkait untuk mengambil tindakan nyata dalam mengatasi masalah kekerasan berbasis gender dalam Pemilu:
1. Pemerintah harus menciptakan mekanisme pencegahan dan penanganan kekerasan berbasis gender di masa pemilu
2. Meningkatkan penegakan hukum terhadap pelaku kekerasan berbasis gender dalam pemilu dan memastikan adanya sanksi yang tegas
3. Mengedukasi masyarakat tentang pentingnya pemilu yang inklusif dan bebas dari kekerasan, serta mendukung korban kekerasan berbasis gender